Pengertian Dan Langkah-langkah Model Pembelajaran Bermain Peran (The Role Playing Model)



Model bermain peran (the role playing model) merupakan model pembelajaran yang menekankan aspek motorik dan aspek kognitif yang mengedepankan kegiatan diskusi secara berkelompok dalam bentuk pemeranan/pementasan ke arah situasi nyata yang terjadi di lingkungan siswa. Artinya bahwa model bermain peran dapat membantu siswa untuk memahami, berpikir, dan bertindak sebagaimana orang lain lakukan. Dengan demikian, siswa mampu mempelajari perbedaan dan persamaan tingkah laku orang lain dan diharapkan dapat menerapkan hasil belajar ini ke dalam situasi kehidupan yang nyata.
Model yang dipelopori oleh George Shaftel ini merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya, dengan melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk : 1) menggali perasaannya, 2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, 3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan 4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi dimana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, dan lain-lain.
Berikut langkah-langkah dalam penggunaan model bermain peran (the role playing model), yaitu
1. Pemanasan (warming up). Dalam tahap ini, guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan menguasainya. Bagian berikutnya dari proses pemanasan adalah menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai dengan contoh. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru. Sebagai contoh, guru menyediakan suatu cerita untuk dibaca di depan kelas. pembacaan cerita berhenti jika dilema dalam cerita menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berpikir tentang hal tersebut dan memprediksi akhir dari cerita.
2. Memilih partisipan. Siswa dan guru membahas karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya. Dalam pemilihan ini, guru dapat memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya atau siswa sendiri yang mengusulkan akan memainkan siapa dan mendeskripsikan peran-perannya. Langkah kedua ini lebih baik. langkah pertama dilakukan jika siswa pasif dan enggan untuk berperan apa pun. Sebagai contoh, seorang anak memilih peran sebagai ayah. Dia ingin memerankan seorang ayah yang galak dengan kumis tebal. guru menunjuk salah seorang siswa untuk memerankan anak seperti ilustrasi di atas.
3.  Menyiapkan pengamat (observer). guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini harus juga terlibat aktif dalam permainan peran. untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru sebaiknya memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif dalam permainan tersebut.
4. Menata panggung. Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. penataan panggung ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas skenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran. Misalnya siapa dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya. Sementara penataan panggung yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti kostum dan lain-lain. Konsep sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran itu sendiri.
5.  Memainkan peran (manggung). permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan  banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya. jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat menghentikannya untuk segara masuk ke langkah berikutnya.
6. Diskusi dan evaluasi. guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul. Mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah. Apa pun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah.
7.  Memainkan peran ulang (manggung ulang). Seharusnya, pada permainan peran kedua ini akan berjalan lebih baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario.
8.  Diskusi dan evaluasi kedua. pembahasan diskusi dan evaluasi lebih di arahkan pada realitas. Mengapa demikian? Karena pada saat permainan peran dilakukan. banyak peran yang melampaui batas kenyataan. Misalnya seorang siswa memainkan peran sebagai pembeli. Ia membeli barang dengan harga yang tidak realistis. Hal ini dapat menjadi bahan diskusi. Contoh lain, seorang siswa memerankan peran orang tua yang galak. Kegalakannya yang dilakukan orang tua ini dapat dijadikan bahan diskusi.
9. Berbagi pengalaman dan kesimpulan. siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia menjadi seorang pembeli yang sedang menawar barang dengan harga yang belum diketahui harga jualnya tetapi ia menawar dengan harga yang tidak realistis. Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi penjual, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa akan menemukan pengalaman baru dan akan belajar tentang kehidupan. dan yang tak kalah pentingnya dengan bermain peran ini, siswa akan lebih bersemangat, senang dan lebih aktif dalam belajar, sehingga siswa dapat menyerap materi dan tentunya tujuan pembelajaran pun akan tercapai.
Pada dasarnya, bermain memiliki dua pengertian yang harus dibedakan. Bermain menurut pengertian yang pertama dapat bermakna sebagai sebuah aktifitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari “ menang dan kalah” (play). sedangkan yang kedua disebut sebagai aktifitas bermain yang dilakukan dalam rangka mencari kesenangan dan kepuasan, namun ditandai dengan adanya pencarian “ menang-kalah” (game). Dengan demikian, pada dasarnya setiap aktifitas bermain selalu didasarkan pada perolehan kesenangan dan kepuasan. Sebab, fungsi utama bermain adalah untuk relaksasi dan menyegarkan (refreshing) kondisi fisik dan mental yang berada di ambang ketegangan. Peran (role) bisa diartikan sebagai cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu. Bermain peran (role playing) sebagai suatu metode mengajar merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar dan diskusi tentang peran dalam kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat sehingga murid-murid bisa mengenali tokohnya.
Lebih lanjut lagi, Mansyur (dalam Sagala, 2011:2013) mengemukakan bahwa model bermain peran (role playing) adalah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya siswa mendapat tugas dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar siswa dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model bermain peran (the role playing) merupakan sebuah metode pembelajaran yang mengedepankan aspek-aspek sepeti motorik, kognisi, afeksi, dan keterampilan sosial, serta aspek-aspek yang lain yang dikemas melalui kegiatan pemeranan/pementasan dengan mentransformasikan ke dalam situasi kehidupan nyata para siswa. Sehingga dapat diharapkan, siswa mampu menjadi seorang pribadi yang mandiri, terampil, kreatif, dan dapat memecahkan persoalan dalam hidupnya pada masa mendatang.